Hesperian Health Guides

Masalah pembuangan limbah

Pada bab ini:

Sistem pembuangan menggunakan air untuk mengalirkan kotoran dalam pipapipa. Sistem ini bisa memperbaiki kesehatan masyarakat, khususnya di kawasan kota yang padat. Tetapi untuk mencegah hadirnya masalah-masalah kesehatan, air buangan limbah harus diolah agar membuat air yang masuk kembali ke saluran air dan atau yang akan digunakan kembali aman.

Pengolahan pembuangan limbah memang mahal, dan seringkali, kotoran yang ada dibuang begitu saja tanpa diolah. Hal ini akan menyebarkan kotoran dan semua jenis kuman, cacing, dan bahan-bahan kimia beracun yang ada di dalamnya, yang menyebabkan munculnya masalah kesehatan seperti hepatitis, kolera, dan tipus di sekitar lokasi pembuangan limbah.

Bahkan dengan pengolahan kotoran yang cukup mahal, menggunakan air untuk mengalirkan kotoran biasanya tidak berkelanjutan dan menyebabkan munculnya masalah seperti:

  • pencemaran air minum di kawasan hilir.
  • pencemaran lahan tempat warga hidup dan bertani.
  • hilangnya sumber nutrisi (pupuk alamiah) untuk pertanian.
  • pencemaran sumber-sumber air yang dimanfaatkan sebagai air minum, mandi, dan bertani.
  • bau busuk.

Sistem pembuangan limbah juga menyebabkan munculnya masalah kesehatan ketika berbagai jenis limbah dicampur, seperti ketika pabrik-pabrik membuang bahan-bahan kimia beracun ke dalam saluran pembuangan limbah. Pencemaran ini akan menyulitkan pengolahan dan penggunaan kembali air limbah.

In a village, a man carries water near a polluted stream.
Warga yang paling terkena dampak limbah yang tidak diolah adalah mereka yang hidup di sekitar lokasi pembuangan.

Cara murah paling aman untuk mengelola sistem pembuangan limbah adalah dengan mengolahnya di dekat lokasi limbah diproduksi, dan selanjutnya membiarkan air menyerapnya ke dalam tanah dan menyuburkan tanaman. Cara paling umum untuk melakukannya adalah dengan menggunakan tangki septik (atau septic tank, yakni wadah berukuran besar di bawah tanah untuk menampung limbah padat dan menguraikannya) dan lahan rembesan (di mana limbah cair bisa merembes keluar-masuk tanah). Tetapi, metode ini memerlukan perencanaan teknis yang berada di luar cakupan panduan ini.

Sistem pembuangan limbah banyak sekali menggunakan air untuk melaksanakan pekerjaan yang sebenarnya bisa dilakukan dengan sedikit air saja, atau tanpa air sama sekali. Komunitas yang hanya punya air sedikit, atau mereka yang tidak mampu membangun sistem pembuangan, lebih tepat jika memanfaatkan jenis-jenis toilet lainnya.

Tangki septik Agus Gunarto

Bermula pada tahun 1984, Agus Gunarto, seorang lelaki bertubuh kecil dengan badan sedikit bungkuk yang tinggal di pinggiran Kali Brantas Kelurahan Tlogomas, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur, setiap hari merasa terganggu dengan hadirnya “pisang goreng mengambang” (istilahnya untuk menyebut tinja) di sekitar rumahnya. Maklumlah, saat itu tak satu pun rumah di sana memiliki kakus. Anak-anak terbiasa buang air besar di saluran terbuka di luar rumah mereka dan sebagian besar keluarga pun menggunakan bantaran sungai Brantas sebagai jamban mereka. Lebih parah lagi, saat malam hari mereka mengemas kotorannya di dalam tas plastik dan baru keesokan harinya dibuang di sungai. Saat air sungai meluap, bungkusan-bungkusan yang mengambang itu berbalik ke perkampungan dan saat air surut kotoran menempel dan mengering di jalan-jalan. Karuan saja kampungnya kerap dilanda wabah diare, bahkan pada tahun 1985 wabah diare mengakibatkan kematian lima orang anak dari keluarga miskin.


Melihat situasi ini, sebagai ketua RT, pak Agus mencoba mencari jalan keluar. Karena terbatasnya lahan, tidak mungkin setiap rumah membuat tangki septik sendiri-sendiri. Ia mengajak para ibu di lingkungannya menanggulangi kejorokan lingkungan itu dengan menawarkan ide membuat tangki septik secara kolektif, namun ditolak. Mereka ingin lingkungan bersih, tetapi tak memiliki kemampuan dan dana yang cukup.


Berbekal dana sekitar Rp 6 juta, pak Agus memulai pembuatan tangki septik terpadu di ujung gang rumahnya. Lahan untuk fasilitas pengolahan telah tersedia di tanah milik masyarakat yang berbatasan dengan pekuburan dan sungai. Tangki septik ini berupa bak semen berbentuk lingkaran dengan tinggi 2 m dan diameter 1,2 m yang lalu dibagi dua, masing-masing untuk menampung ampas padat dan yang encer, dipisahkan oleh sebuah dinding cor sebagai penghancur kotoran dan kisi-kisi penyaring limbah. Aliran limbah dari rumah tangga (kamar mandi, kakus, dan dapur) sepenuhnya dialirkan secara gravitasi. Warga yang berniat menyalurkan kotorannya ke tangki septik harus membuat jaringan pipa dari kamar mandi, kakus, dan dapur di rumah ke pipa utama sehingga konstruksinya menyerupai tulang ikan. Instalasi pengolahan terdiri dari empat bak beton yang saling berhubungan dan kolam terakhir diisi ikan untuk mengukur kadar racun cairan itu.

A small group of people dig.


Di permukaannya ditebar tanaman eceng gondok sekedar untuk menyamarkan agar cairan tidak merusak pemandangan. Ternyata ikan dapat hidup di situ dan eceng gondok mampu menyerap logam berat dan membantu penguraian. Dengan cara ini cairan kotor yang dialirkan ke sungai dari penampungan ini tidak akan mencemari air sungai. Proses pengolahannya adalah anaerobic-suspended biomass, secara internasional dikenal dengan tangki septik komunal, tetapi warga menyebutnya “Tangki AG”, singkatan dari nama Agus Gunarto perancangnya.


Awalnya hanya enam rumah yang memasang jaringan. Setelah terasa manfaatnya barulah rumah-rumah yang lain ikut memasang jaringan pipa. Sistem ini kemudian berkembang ke desa-desa sekitarnya dan kebiasaan buang air besar di sungai mulai berubah membuat lingkungan desa menjadi asri, bersih, dan lebih sehat. Kini model tangki septik komunal ini sudah berkembang bahkan sampai ke mancanegara. Agus Gunarto pun memperoleh penghargaan Kalpataru dari Presiden RI dan berbagai penghargaan lainnya dari dalam dan luar negeri.


Halaman ini telah diperbarui pada tanggal:17 Nov 2022