Hesperian Health Guides

Bendungan besar mengganggu kesehatan

Pada bab ini:

Bendungan adalah dinding yang dibangun melintangi sungai. Bendungan dibangun untuk menahan aliran air sebuah sungai dan membuat danau buatan yang disebut waduk atau tandon air. Air yang disimpan dalam waduk dapat dimanfaatkan untuk mengontrol banjir, memasok air untuk irigasi, dan air minum, menghasilkan tenaga listrik, atau untuk rekreasi.

Bendungan telah memberi kontribusi pada pembangunan kota-kota modern dan memperbaiki kehidupan banyak orang. Tetap, bendungan-bendungan berukuran besar, dengan ketinggian lebih dari 15 meter bahkan terkadang tingginya mencapai 250 meter, juga merugikan manusia dan tanah dengan beragam cara.

Hulu-hilir memelihara DAS bersama
A man standing beside a dam.

Bukan zamannya lagi kegiatan konservasi lingkungan dilakukan sendiri-sendiri. Di Puangaja, sekelompok perempuan rela “naik gunung“ untuk membantu warga menanam pohon. Usaha-usaha perlindungan hutan dan lingkungan di Kecamatan Sibolangit, Sumatera Utara kini selangkah lebih maju. Kaum perempuan

Desa Puangaja bersama organisasi Bank Pohon Sumut dan Environmental Service Program (ESP) baru saja menanam sekitar 1.000 pohon di atas sebuah lahan di tepi Sungai Injaman, salah satu wilayah bagian Sub-DAS Lau. Desa Puangaja berada pada ketinggian 400 sampai dengan 700 meter di atas permukaan Laut. Sibolangit sendiri adalah sumber air yang dimanfaatkan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtanadi untuk melayani sekitar 2 juta warga Medan.



Pohon yang ditanam untuk melindungi daerah tangkapan air di Puangaja ini adalah asam glugur dan manggis, tanaman buah yang memiliki nilai ekonomi dan ekologi tinggi karena mampu berfungsi menyimpan air sekaligus mengikat tanah untuk menghindari erosi dan longsor. Uniknya, salah satu kelompok yang terlibat dalam kegiatan penanaman pohon ini bukan berasal dari daerah hilir, tapi dari Medan, daerah hulu yang berjarak puluhan kilometer dari Puangaja.

“Kami yang tinggal di Medan merasakan betul manfaat air bersih dalam hidup sehari-hari. Jadi kami merasa punya tanggungjawab untuk ikut melestarikan daerah ini. Kalau kondisi lingkungan Sibolangit terganggu, kan, kami juga yang kena akibatnya,“ kata Mela, ketua Shine, kelompok wanita dari Gereja Kristen Perjanjian Baru (GKPB), Medan.

Anton Tarigan dari PDAM Tirtanadi Medan berpendapat sama dengan Mela. “Kegiatan tanam pohon ini membantu PDAM mempertahankan debit air yang diproduksi. Lagipula, sebagai daerah tangkapan air, Desa Puangaja memang harus dilindungi dan dijaga kelestariannya.“

Di bulan-bulan mendatang, para anggota GKPB akan rutin mengunjungi Puangaja untuk memantau pertumbuhan bibit yang ditanam, melakukan penanaman sisipan jika ada pohon yang mati. Kegiatan tanam pohon di Puangaja adalah awal dari program “Hulu-Hilir” yang digagas oleh peserta Sekolah Lapangan Puangaja. Program ini mengajak berbagai kelompok di wilayah hulu untuk terlibat dalam kegiatan konservasi alam di hilir. Mereka juga berdiskusi dan melakukan aksi kebersihan dan kesehatan bersama masyarakat yang tinggal di wilayah hilir.

Bendungan menyebabkan munculnya masalah di kawasan hulu dan hilir

Pertama, bendungan menciptakan masalah bagi masyarakat yang tinggal di kawasan hulu di mana sungai dibendung atau akan dibendung.

Perpindahan dan kemiskinan

Masyarakat terusir karena pembangunan bendungan dan dipaksa pindah. Banyak sekali yang akhirnya hidup di kawasan miskin atau di pemukiman kumuh di perkotaan. Masyarakat yang terusir tersebut mungkin dijanjikan uang atau tanah. Sayangnya, seringkali uang tidak diberikan oleh pejabat-pejabat lokal. Seringkali, hanya orang-orang yang punya sertifikat atas tanah saja yang akan menerima uang atau tanah pengganti. Kadang-kadang, tanah pengganti tersebut begitu buruk sehingga tidak cocok untuk pertanian.

Kota-kota yang akan dibanjiri oleh bendungan tidak menerima dana pemerintah untuk perbaikan dan pembangunan, sehingga sekolah-sekolah, jalan raya, dan layanan kesehatan pun terabaikan. Beberapa kota keadaannya tetap seperti ini selama bertahun-tahun sebelum dibanjiri air waduk.

Bendungan menghancurkan aliran alamiah sungai. Bendungan juga menyebabkan naik atau turunnya aliran air, tergantung pada kondisi bendungannya. Siklus alamiah banjir dan musim kering bisa terganggu, mempengaruhi sungai secara keseluruhan dan merusak lahan yang sangat luas.

Tempat baru bagi serangga untuk berkembang biak

Nyamuk berkembang biak di air kanal irigasi yang dangkal dan terkena cahaya matahari, juga di tepian waduk. Menaik-turunkan permukaan air waduk secara teratur bisa membunuh nyamuk-nyamuk yang masih muda. Tetapi, orang-orang yang mengelola bendungan biasanya tidak menganggap hal ini penting.

Lalat-lalat hitam yang menyebar penyakit buta (river blindness), bertelur di air sungai yang mengalir deras seperti air yang tumpah keluar dari bendungan. Bagian air yang tenang di bendungan dan proyek-proyek irigasi merupakan tempat berkembangbiaknya siput yang bisa membawa penyakit cacing darah.

Erosi sungai pinggiran sungai dan dataran banjir (floodplain)

Ketika sebuah bendungan menahan aliran sungai, sedikit tanah dan bebatuan yang terbawa air (lumpur halus) akan mengendap di dasar sungai dan di waduk bendungan, bukan di pinggiran sungai. Ketika air mengalir keluar waduk, air tersebut tidak lagi membawa lumpur. Karena lumpur merupakan bagian yang membuat tanah menjadi subur untuk pertanian, maka tanah-tanah di kawasan hilir menjadi tidak subur. Dan karena air yang terlepas dari bendungan terus mengalir sambil mengumpulkan lumpur, maka air tersebut terus mengerosi tanah-tanah yang dilewatinya, dengan meruntuhkan dinding tanah dipinggir sungai.

A dam creates a reservoir with a village beside it and a flooded village in it.
Para pekerja bendungan sangat tertekan. Biasanya, lingkungan kerjanya tidak aman, tempat tinggal mereka sangat buruk, makanan pun buruk, dan hanya memiliki sedikit akses pada perawatan kesehatan. Kondisi ini jelas mendorong berkembangnya penyakit seperti TB dan HIV. Setelah bendungan dibangun, mereka harus mencari tempat tinggal dan pekerjaan baru.
Bendungan menghancurkan komunitas. Keluarga-keluarga yang hidup di sekitar waduk bendungan kehilangan rumah-rumah dan pekerjaan mereka. Orang-orang yang terusir tersebut biasanya tidak ditempatkan kembali di satu tempat. Biasanya mereka menjadi lebih miskin setelah dipindahkan.
Waduk sering tercemar. Pestisida, pupuk, dan limbah industri bisa terkumpul di airnya, dan membuatnya menjadi beracun.
Waduk menciptakan masalah-masalah kesehatan lain. Penyakit-penyakit seperti malaria dan cacing darah (blood flukes) meningkat ketika waduk tersebut engembangbiakkan nyamuk dan serangga pembawa penyakit lainnya.
Bendungan membuat ikan-ikan mati dan menghancurkan kegiatan perikanan. Perubahan aliran dan kualitas sungai bisa mematikan ikan. Orang-orang yang hidupnya bergantung pada ikan, untuk makan dan mata pencaharian, menjadi korban.


Electric wires and a pipeline go from a village to a city.
Bendungan menyedot air dari komunitaskomunitas di pedesaan. Air yang biasanya dimanfatkan petani di desa-desa dan para pencari ikan, kini digunakan untuk membangkitkan listrik untuk kebutuhan kotakota dan industri.
Hasil panen menurun. Bendungan menenggelamkan tanah-tanah pertanian yang produktif dan menahan lumpur sehingga tidak mengalir ke kawasan hilir untuk menyuburkan tanaman. Air yang terlepas dari bendungan dapat menggerus tetumbuhan di pinggir sungai.
Bendungan melepaskan air yang tercemar. Air-air yang berkualitas buruk menyebabkan munculnya penyakit bagi masyarakat dan khewan di kawasan hilir.

Alternatif untuk bendungan besar

A prone man reaches for a glass of water; on his back are stacked 3 large sacks labelled "Flood control, Electricity,"and "Irrigation." Beside him are the words "for someone else."
Tetapi, mana airku?

Ketika ada rencana membangun sebuah bendungan, pertanyaan pertama yang harus diajukan: Apakah ini perlu? Bendungan dibangun untuk mengendalikan banjir, pembangkit listrik, irigasi, dan untuk memasok air kota-kota yang baru tumbuh. Layanan tersebut seharusnya dapat disediakan melalui cara-cara lain yang tidak merusak.

Pertanyaan ke dua yang harus diajukan: Siapa yang mendapatkan keuntungan? Di seluruh dunia, komunitas yang akan dirugikan telah menentang pembangunan bendungan besar dan mengajukan alternatifnya. Pada beberapa kasus, mereka berhasil.

Pengendalian Banjir. Jika mungkin, hindarkan untuk mendirikan bangunan di pinggiran sungai dan rawa-rawa alamiah. Perbaiki sistim peringatan dini untuk membantu masyarakat bersiap-siap menghadapi banjir. Mempertahankan aliran alamiah sungai dapat mencegah banjir jauh lebih efektif dari pada membuat bendungan.

Tenaga listrik. Dorong pemerintah dan para pengembang untuk memanfaatkan angin, matahari, atau tenaga air berskala kecil yang membangkitkan listrik di lokasi yang dekat dengan tempat di mana listrik tersebut akan digunakan. Energi yang dikelola dan dikontrol secara lokal lebih berkelanjutan bagi masyarakat di kota-kota besar dan kecil, juga di kawasan pedesaan.

Irigasi. Pembangunan kawasan lokal memberikan keamanan pasokan air lebih baik dibandingkan dengan bendungan besar. Di negara bagian Gujarat, India, ribuan pintu air telah dibangun untuk menampung air hujan untuk dimanfaatkan di musim kemarau dan sebagai cadangan air tanah. Pemerintah dan warga desa menanggung bersama biaya pintu air tersebut. Banyak sekali desa yang dulunya hanya punya cukup air untuk mengairi ladang selama setengah tahun, sekarang mereka bisa mendapat air sepanjang tahun.

Jika sebuah bendungan diusulkan atau dibangun di DAS anda

A long parade of people march across a river carrying signs which read "Water for People, Not for Profit," "We Won't Move,""It's Our Land," "No Dams," and showing fish skeletons.

Komunitas-komunitas di seluruh dunia menentang pembangunan bendungan baru, berupaya menutup bendungan-bendungan lama, dan menuntut kompensasi berupa uang dan lahan atas kerusakan yang mereka tanggung atas pembangunan bendungan. Sebagian komunitas juga menuntut perubahan cara pengendalian bendungan, untuk membantu sungai-sungai mengalir secara lebih alamiah dan mengurangi kerusakan yang dihasilkan bendungan.

Tragedi Situ Gintung

Pada dini hari 27 Maret 2009, ketika kebanyakan penduduk yang tinggal di sekitar waduk Situ Gintung dan sepanjang sungai Pesanggrahan masih tidur lelap, bencana air bah melanda akibat tanggul yang jebol. Banjir tumpahan air sebanyak 2 juta meter kubik mendadak menyapu dan merendam areal seluas 10 hektar di bawahnya. Bencana ini diikuti dengan gerakan tanah longsor tepi tanggul. Akibatnya 250 rumah rusak serta korban 100 orang tewas, lebih dari 103 hilang dan 179 lainnya luka-luka. Banyak warga yang mengalami trauma psikologis serta kehilangan tempat tinggal dan harta benda.



Waduk seluas 21 hektar ini adalah danau buatan yang dibangun tahun 1932 oleh pemerintah Belanda untuk menampung air yang digunakan sebagai irigasi lahan pertanian guna menjaga ketersediaan air saat musim kemarau. Belakangan fungsi berubah menjadi waduk konservasi wisata dan menjadi salah satu lokasi wisata andalan; sementara pemerintah daerah setempat menetapkan tata guna lahan daerah ini diperuntukkan sebagai pemukiman dan kebun campuran. Curah hujan yang tinggi selama 2 jam memang terjadi menjelang jebolnya tanggul, tapi menurut para ahli itu hanya sebagai pemicu karena volume air mengalami kenaikan cepat sehingga air melimpas dari spillway melampaui permukaan tanggul (over topping) semakin melemahkan kondisi tanggul yang sudah jenuh. Argumennya, sejak waduk dibangun tentunya ada banyak kali terjadi hujan yang sangat lebat dan lama, lalu mengapa hujan kali ini yang menyebabkan tanggul Situ Gintung jebol?

A group of villagers are smiling as they watch an elder sign a treaty.

Daerah yang dilanda bencana ini adalah daerah hilir aliran sungai Pesanggrahan berupa lembah yang relatif datar dengan batuan dasar yang kurang kompak dan timbunan tanggul berupa lempung yang lunak. Saat bencana terjadi, daerah hulu dan hilir sudah merata dipadati bangunan berupa rumah tinggal, kantor, restoran, sekolah, rumah ibadah – bahkan sebagian besar sudah bersertifikat. Semuanya berpotensi mempersempit luas waduk. Pendangkalan juga menjadi salah satu faktor berkurangnya daya tampung waduk. Daya resap tanah berkurang karena banyak bangunan yang didirikan berdekatan dengan tanggul mengurangi pohon-pohon yang biasanya menyerap air.

Laporan tercatat di bulan Desember 2008 menyatakan ada erosi pada tanah di sekitar bangunan spillway. Sementara itu dari informasi penduduk yang tinggal paling dekat dengan tanggul, malam sebelum terjadinya bencana sudah diketahui ada retakan-retakan dan rembesan-rembesan air pada badan tanggul di dekat spillway, bahkan mereka sempat mengungsi pada tengah malam itu, beberapa jam sebelum rembesan menjadi bencana.

Disamping itu bangunan pelimpasan air berkurang dalam jumlah dan fungsinya. Bahkan sebagian badan bangunan dari satu-satunya spillway yang masih ada sudah diduduki pondasi sebuah bangunan, meski sudah ada peraturan daerah yang menetapkan bahwa jarak bangunan dengan tanggul seharusnya paling sedikit 50 m. Bagian atas tanggul dijadikan lintasan lari dengan tujuan agar tidak dirambahi bangunan, konsekuensinya tak ada pohon yang dapat dimanfaatkan untuk menahan erosi tanggul. Bisa diduga, daya sangga tanggul dan tanah yang sudah jenuh air dan rapuh itu akhirnya menyerah oleh desakan 2 juta meter kubik air.



Halaman ini telah diperbarui pada tanggal:17 Nov 2022