Hesperian Health Guides
Pencegahan erosi
HealthWiki > Panduan masyarakat untuk kesehatan lingkungan > Bab 11: Memperbaiki lahan dan menanam pepohonan > Pencegahan erosi
Hilangnya tanah, atau disebut erosi, disebabkan oleh angin dan air mengikis tanah dan menghanyutkannya. Melindungi tanah dari erosi, terutama di lereng bukit yang curam, akan meningkatkan kemampuan tanah untuk menumbuhkan tanaman, melindungi sumber-sumber air di bagian hilir, dan mencegah terjadinya tanah longsor. Para petani menaati 3 prinsip untuk mencegah erosi dan mengalirnya air di permukaan tanah:
- Memperlambat aliran air dengan membuat penghalang alami dari batas air tertinggi sampai ke bawah.
- Memecah jalur aliran air dengan cara membuat cabang-cabang saluran untuk membaginya dan mengarahkan alirannya.
- Membenamkan air dengan cara memperbaiki struktur tanah sehingga air dapat tersaring masuk ke dalam tanah.
Tanda-tanda terjadinya erosi kadang-kadang sulit dikenali. Antara lain adanya tanaman yang produksinya berkurang tidak sebanyak biasa, atau sungai yang mengandung lebih banyak lumpur dibanding sebelumnya (terutama setelah terjadinya badai), dan tanah yang semakin tidak subur.
Erosi baru yang membentuk selokan... | ...tak lama kemudian akan terlihat seperti ini. |
Ketika erosi belum terjadi, dapat dicegah dengan mempertahankan tanaman dan pepohonan sebanyak mungkin, dan dengan mengarahkan aliran air permukaan agar masuk ke dalam selokan, kolam, dan aliran air alami. Saat erosi sudah parah, masih ada kemungkinan untuk menghentikannya dan mengembalikan kesuburan tanah. Bahkan dengan meletakkan sebarisan batu atau membangun dinding batu yang rendah membujur di kemiringan lahan dapat mencegah tanah terhanyut ke kaki bukit, dan menciptakan tempat yang subur untuk pohon dan tanaman pangan. Metode usahatani berkelanjutan seperti penggunaan pupuk hijau, melakukan rotasi tanaman, pemberian mulsa, dan penanaman pohon bersama dengan tanaman pangan juga merupakan cara melindungi tanah dan mempertahankan sumberdaya air.
Metode usahatani berkelanjutan seperti penggunaan pupuk hijau, melakukan rotasi tanaman, pemberian mulsa, dan penanaman pohon bersama dengan tanaman pangan juga merupakan cara melindungi tanah dan mempertahankan sumberdaya air.
Hutan keluarga untuk masa depan
Sungai Aesesa mengalir dari hulunya di Gunung Inegema (± 800 mdpl) wilayah Kab. Ngada menuju muaranya di Mbay, pantai utara yang masuk dalam wilayah Kab. Nagekeo. Kedua kabupaten ini terletak di bagian tengah pulau Flores Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Pada awal tahun 1990 masyarakat di kedua kabupaten adalah petani lahan kering dengan sistem berladang berpindah dan usaha peternakan sapi. Lahan baru biasanya ditebas lalu dibakar sebelum dijadikan ladang dan kemudian ditanami tanaman semusim seperti padi, jagung, ubi kayu atau kacangkacangan. Rentang musim hujan yang pendek, yakni dari Desember sampai Maret, membuat masyarakat tidak mempunyai banyak pilihan jenis tanaman dan hanya dapat menanam sekali setahun. Sapi umum dipelihara masyarakat (rata-rata 2-10 ekor per kepala keluarga) dengan cara dilepas di padang penggembalaan.
Masalah timbul ketika lahan bekas ladang yang sudah ditinggalkan menjadi gersang dan luasnya semakin bertambah. Tak ada air yang cukup untuk kebutuhan keluarga, tanaman dan ternak. Tak ada pula pohon untuk ditebang menjadi kayu bakar. Kondisi yang kering membuat padang penggembalaan tandus dan ternak sapi menjarah kebun-kebun masyarakat. Setiap tahun pada musim kemarau terjadi kebakaran padang dan pada musim hujan sebagian besar air mengalir sebagai aliran permukaan yang mendatangkan banjir.
Pada awalnya Yayasan Geo Meno bekerja sama dengan World Neighbors mencoba membantu dengan memperkenalkan program Wanatani di kebun-kebun masyarakat untuk mengubah pola tebas-bakar dan perladangan berpindah menjadi pola kebun menetap dan meningkatkan produktivitas lahan. Namun ternyata model pengembangan Wanatani tidak mampu mengatasi berbagai persoalan yang saling berkaitan dan membutuhkan penanganan segera.
Tahun 1998 Yayasan Mitra Tani Mandiri di Kabupaten Ngada mengembangkan program pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Aesesa yang berbasis masyarakat dan diawali dengan kunjungan belajar ke DAS Cimanuk Hulu di Jawa Barat. Kemudian dibangun kerjasama dengan Dinas Kehutanan setempat dalam pengadaan benih dan polybag untuk membuat hutan keluarga. Laju erosi dikurangi sambil meningkatkan kesuburan tanah dengan cara membuat terasering yang ditanami jajaran tanaman leguminosa. Berbagai teknologi tepat guna juga diajarkan seperti olah jalur (in-row tillage) yakni hanya tanah di jalur penanaman saja yang digemburkan, dan olah lubang (in-hole tillage) yakni hanya tanah di sekitar lubang tanam saja yang digemburkan. Selain itu juga digalakkan penggunaan pupuk organik (pupuk hijau, pupuk organik cair, dan kompos) untuk meningkatkan kesuburan tanaman dan memperbaiki struktur tanah. Usaha ternak sapi diubah menjadi sistem kandang. Sebagian masyarakat ada yang menanam tanaman pagar untuk mencegah masuknya ternak ke dalam kebun.
“Dulu, sebelum melakukan terasering, saya sudah harus pindah menggarap kebun yang lain karena pada lahan yang sudah digarap 3 tahun tidak subur lagi Tetapi dengan adanya terasering disertai pembenaman daun-daun hasil pangkasan larikan tanaman leguminosa, hasil kebun saya malah semakin meningkat” kata bapak Antonius Pati Ia mulai merintis pengembangan hutan keluarga sejak tahun 1996 Dalam waktu kurang dari sepuluh tahun, hutan keluarganya telah mencapai 7 ha yang berisi lebih dari 10 000 pohon kayu berbagai jenis “Sejak tahun 2002, muncul mata air di bawah sana”, beliau menunjuk pada satu lokasi di bagian bawah dari kebunnya yang pada beberapa tahun sebelumnya kering “Walaupun debitnya kecil, mata air tersebut tidak pernah kering sepanjang tahun Karena sumber air itu sangat berharga bagi kami, maka kami sangat melindunginya Sekarang kami tidak perlu pergi jauh untuk mengambil air Kami cukup berjalan ke kali dengan jarak sekitar 200 meter, kami sudah bisa mendapatkan air bersih Kopi yang Anda minum ini airnya berasal dari mata air itu’, katanya sambil tertawa lebar
Sampai saat ini mungkin sudah ada lebih dari 1 000 keluarga petani di Kabupaten Ngada dan Nagekeo yang sudah mengembangkan hutan keluarga Dengan asumsi bahwa setiap keluarga tani mengembangkan hutan keluarga rata-rata seluas 0 75 hektar, maka sedikitnya sudah ada penambahan 750 hektar luas kawasan berhutan di Kabupaten Ngada dan Nagekeo
Pengembangan hutan keluarga di Kabupaten Ngada dan Nagekeo masih termasuk ”baru” jika dilihat dari umur tanaman dan dampak yang disumbangkannya terhadap perbaikan kualitas ekosistem Namun di tengah kerasnya alam dan rendahnya curah hujan, masyarakat bisa mengubah padang gersang dan savana menjadi daerah yang sejuk dan produktif Perubahan-perubahan yang terlihat terutama pada meningkatnya produktivitas lahan, perubahan pada iklim mikro, semakin luasnya daerah berhutan, dan meningkatnya ketersediaan air